Sapi dan Tradisi

Minggu, 28 September 2014 (waduhhh telat banget ya nge-postnya)

Awalnya saya ingin mengajak Nares dan Kinar jalan-jalan ke Bandara Trunojoyo. Tapi karena pagi saya kebetulan ketemuan dengan Mak Puh Kumpulan Emak Blogger yang lagi alomampa (bahasa Madura halus : berjalan) ke Sumenep…dan memastikan hari ini ada kerapan sapi (karena saya pikir acaranya sudah lewat), jadilah hari ini saya mengajak anak-anak melihat kerapan sapi. Ini adalah puncak tingat kawedanan (6 kawedanan masing-masing mengirim 6 pasang sapi) sebagai rangkaian acara sebelum kerapan sapi Piala Presiden. Jadi pemenang di ajang ini akan tampil di turnamen Kerapan Sapi Piala Presiden tanggal 19 Oktober 2014 di Pamekasan, beradu dengan sapi-sapi kerrap jawara dari 4 kabupaten.

Adu kecepatan sapi ini beberapa tahun lalu dipermasalahkan karena penggunaan alat ‘rekkeng’ untuk memacu kecepatan sapi. Rekkeng sejenis tongkat pendek yang dipenuhi paku. Alat itu dipukulkan di bagian sekitar pangkal ekor. Sapi kerrap otomatis penuh luka di bagian tersebut. Bagian tubuh sapi lainnya seperti mata juga diolesi cabe atau jahe atau balsam. Plastik kresek juga diikatkan di sekitar kepala dan saat baru start ada tim khusus membunyikan kaleng bekas yang diisi batu. Maksudnya agar suara berisik membuat sapi panik dan terus berlari.

Kesannya memang sadis ya…tapi diluar arena sapi-sapi kerrap diperlakukan sangat istimewa. Setiap hari ratusan butir telur ayam menjadi santapannya, diurut, ditambah ramuan jamu yang jumlahnya tidak sedikit dan harganya juga tidak murah. Maka jangan heran bila sapi kerrap harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah per ekornya. Karena sapi kerrap very high cost maintenance.. 🙂

Saya teringat waktu masih kecil (mungkin usia TK atau SD), seorang teman papa yang pemilik sapi kerrap asal Pulau Sepudi, menjadikan rumah kami sebagai markas selama mengikuti kompetisi kerapan sapi di Sumenep. 2 ekor sapi diparkir tak jauh dari rumah. Ada sekitar 20 orang yang menjadi kru, mulai dari tukang masak (mereka bawa peralatan masak sendiri untuk para kru) sampai tukang tongkok (joki).

Sapi Sonok

Sapi sonok agak berbeda dengan kompetisi kerapan sapi yang juga menjadi tradisi di Madura. Kompetisi ini lebih berperikehewanan karena sapi malah harus berjalan pelan mengikuti iringan musik tradisional Saronen. Panjang lintasannya juga lebih pendek dibanding kerapan sapi. Tidak ada alat-alat yang sengaja digunakan untuk membuat sapi panik, bahkan pecutpun tidak. Saat menunggu giliran tampil, sapi ‘diparkir’ dengan kaki depan sapi nangkring di sebuah kayu. Parkir semacam ini akan membuat kepala sapi selalu tegak dan terkesan tangguh tapi ‘anggun’ (haiiisss…ada ya sapi anggun? :D). Nah..urusan perawatan..sama saja..very high cost maintenance.

One thought on “Sapi dan Tradisi

Leave a reply to nurul fitri fatkhani Cancel reply